Ekonomi Jepang dan Penyebab mandek selama 30 tahun

Apa sih yang kamu bayangkan tentang ekonomi Jepang? Mungkin kamu membayangkan negara maju, teknologi canggih, pop-culture yang unik, kesejahteraan tinggi, para pekerja yang disiplin dan berdedikasi tinggi.

Padahal sesungguhnya, ekonomi Jepang tidak sedang baik-baik saja, bahkan sejak 30 tahun terakhir, ekonomi Jepang mandek dan nyaris nggak bertumbuh. Sampai-sampai 30 tahun terakhir ini dijuluki sebagai "The Lost Decades". Wah kok bisa gitu ya? Bukannya 40-50 tahun yang lalu pertumbuhan ekonomi Jepang itu sangat pesat sampai-sampai menjadi negara maju pertama di Asia dan disebut sebagai "Japanese Economic Miracle"? Nah, bagaimana kronologi dan kisah kejatuhan ekonomi Jepang?

ya ekonomi Jepang melesat sekitar 40-50 tahunan yang lalu (terhitung sejak dari artikel ini dibuat tahun 2022), tepatnya ketika jepang mengalami masa kejayaan ekonominya di era 70-80 an, tapi banyak orang yg gk tau nih kalau sekitar tahun 90an hingga sekarang bahwa data menunjukan perekonomian jepang itu mandek bahkan merosot pertumbuhannya, dan sekarang diperparah akibat pandemi covid 19.


Jadi kemajuan dan kemegahan Jepang yang kita lihat sekarang ini ternyata adalah sisa peninggalan kekayaan di era 80an yg masih terasa sampai sekarang, tapi di balik kosmetik kemegahan itu ada :
  1. Pengangguran skala besar, 
  2. Tekanan jam kerja yg mengerikan, 
  3. Tingkat konsumsi masyarakat yang rendah, 
  4. Penurunan produktivitas yg mencemaskan, di generasi umur produktivnya, 
  5. Kekalahan industrinya dibandingkan dengan Korea dan China.
Semua itu gak terdeksi sama kita yang melihat manisnya dunia Jepang dari pop culturenya, kaya mangga, anime, dorama, ataupun pariwisatanya yang cantik, tetapi data ekonomi tentu saja gak berbohong, dan semua itu bisa di lihat dari kehidupan industri dan kehidupan sosial masyarakat Jepang, nah sebetulnya bagaimana  kronologi masalah ekonomi di Jepang ini, padahal Jepang 40-50 tahun yang lalu, ekonomi Jepang dianggap sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia, bahkan sempat menyaingi negara besar seperti Amerika dan negara besar di blok barat (Japanese Economic Miracle), tetapi semua kemajuan ekonomi itu berhenti begitu saja di era 90an (The Lost Decade) hingga sekarang, nah kira kira apa sih penyebabnya?

ERA AKHIR PERANG DUNIA KE 2  
Saat negaranya di serang bom atom tepatnya di dua kotanya yaitu Hiroshima dan Nagasaki, Jepang resmi menyerah dan kalah, banyak industri dan pabrik yg hancur karena perang, bahkan bahan pakan dan makanan juga langka karena digunakan sebagai kebutuhan logistik perang, prajurit yang kembali pun juga banyak diberhentikan yg akhirnya jadi pengangguran, dengan kondisi ekonomi yang morat marit seperti itu membuat jepang melakukan segala cara buat bertahan hidup. Dengan memanfaatkan dana bantuan pasca perang dari Amerika mereka berkerja keras :
  1. Membangun sektor pertanian, 
  2. Memperbaiki sektor industrinya.
Dan di era perang Korea (1950-1953) dijadikan objek mencari keuntungan buat Jepang dengan cara menjual pasokan logistik buat pasukan Amerika yang sedang berperang di semenanjung Korea, dan hal itu jadi katalis buat kebangkitan produktivitas industri Jepang, sekaligus jadi momentum buat kebangkitan industri yg saat ini banyak kita kenal seperti Honda, Yamaha, Mitsubishi, Seiko, dll.

Perkembangan industri Jepang ini juga diiringi sama peningkatan konsumsi masyarakat, yang membuat ekonomi Jepang bejaya di tahun 60an, dan menjadi satu satunya di Asia negara yang berstatus negara maju. sepanjang tahun 1950an sampai 1980an, Jepang yg awalnya benar benar hancur lebur, miskin, diambang kelaparan, dan dianggap tidak punya masa depan, ternyata bisa sukses jadi kekuatan ekonomi terbesar di Asia dalam waktu yg dibilang relatif singkat, disinilah istilah Japanese Economic Miracle itu muncul. 

Ketika era teknologi itu pesat diantara tahun 70-80an banyak perusahaan jepang memulai masa keemasannya di masa tersebut, seperti Toei, Hitachi, Sega, Sony, Bandai, dll,  kemakmuran itu terus berlangsung sampai priode dekade 80an, saat itu produk produk buatan Jepang seperti mobil, dan barang barang elektronik membanjiri pasar dunia termasuk Amerika, 


harga yang murah dan kualitas yang bersaing itu bikin produk Jepang berhasil menyingkirkan para kompetitor produk lokal di amerika. tapi semua kesuksesan itu akhirnya menemukan tantangan dan berdampak panjang buat ekonomi Jepang, ramainya produk Jepang yang membanjiri pasar Amerika ini mulai membuat produk dalam negeri Amerika itu khawatir kalau mereka akan kalah bersaing secara kualitas dan juga harga, hal ini tentu mengancam ekonomi pengusaha Amerika saat itu, para pengusaha ini akhirnya melakukan lobby kepada para kongres buat mengambil kebijakan melindungi produk dalam negeri, kita melihat yang terjadi pada tahun 2018 yaitu terjadi perang dagang antara Tiongkok dan Amerika, nah di tahun 80an itu situasinya agak mirip mirip, banyak kekhawatiran akan terjadinya perang dagang antara 2 negara maju saat itu yaitu antara Jepang dan Amerika, tetapi di tahun 1985 Amerika membuat kesepakatan dengan negara negara G5 (5 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia) yg terdiri dari Amerika, Inggris, Jerman Barat, Francis, dan tentunya Jepang, dan inti dari isi kesepakatan itu adalah untuk menurunkan nilai dari mata uang Amerika USD terhadap nilai dari mata uang 4 negara di G5 itu termasuk Jepang, perjanjian ini di sebut juga dengan PLAZA ACCORD.

Memangnya apa sih artinya pengurangan nilai mata uang USD terhadap JPY ini ?, apa artinya nilai Yen ini lebih kuat di bandingkan dollar ?, jawabannya benar sekali, artinya Jepang enak dong kalau nilai mata uang JPY lebih kuat dibandingkan USD, jadinya mereka dapat belanja barang barang Amerika dengan murah, nah disini masalahnya mulai terlihat, mungkin dari sisi konsumen memang enak, tapi perlu diingat Jepang adalah negara yang memproduksi atau produsen, justru nilai mata uang yg menguat itu adalah kabar buruk, jadi barang-barang jepang ini jadi gak bisa dijual murah lagi di Amerika sebagai target pasar terbesarnya, ongkos produksinya mungkin sama tapi daya beli konsumen di Amerika terhadap produk jepang tidak sekuat dulu lagi atau menurun, akhirnya keunggulan harga murah dan kualitas bagus pada produk Jepang gak bisa dterapkan lagi, gara gara penurunan nilai mata uang USD terhadap JPY ini membuat harga produk jepang jadi lebih mahal di pasar Global, dan jadi lebih sulit bersaing di pasar Global, dan karena harga produk yg jadi mahal dan penjualan yg menurun, secara gak langsung tejadilah juga penurunan nilai ekspor Jepang ke Amerika.

Disini timbul pertanyaan besar, mengapa jepang mau maunya menyetujui kesepakatan ini ?, padahal jepang banyak dirugikan dari kesepakatan ini?, jawaban pastinya tidak ada yang tahu, tapi dari perkiraan banyak orang dan para ahli ekonomi mereka memperkirakan :
  1. Jepang itu tidak mau menghadapi resiko perang dagang dengan Amerika, 
  2. Mendapatkan produk makanan pokok (konsumsi) yang lebih murah dari Amerika.
  3. Mengefisiensikan rantai pasokan produksi mereka (dari yang tadinya impor barang mentah dan ekspor barang jadi yg memakan waktu dan biaya kirim yg cukup besar, kini mereka bisa melakukan investasi di negara lain untuk menghemat waktu dan biaya produksi).
Terlepas dari motiv mereka, jepang tetap setuju dengan perjanjian tersebut, dalam kurun waktu setahun nilai JPY/USD meningkat dari 250 yen /dollar jadi 150 yen/dollar.


hasilnya nilai ekspor Jepang menurun, hal ini bikin iklim prekonomian di Jepang itu jadi lesu, hal ini terjadi karena perekonomian mereka selama ini ditopang oleh komponen ekspor. 


Untuk mengembalikan perekonomian negara, Bank Sentral Jepang tentu tidak tinggal diam, mereka bertindak menurunkan suku bunga acuan 2.5% ditahun 1987, dengan menurukan suku bunga, masyarakat di Jepang di dorong lebih aktif untuk mengkonsumsi produk dalam negeri dan percuma juga buat nabung karena suku bungannya sangat rendah, tapi disini masalah baru muncul, akibat dari suku bunga yang rendah itu bikin masyarakat dan institusi mulai berani buat pinjam uang di Bank, dan uang pinjaman itu tidak hanya mereka pakai buat konsumsi tetapi dipakai juga buat cari keuntungan dengan berinvestasi di pasar modal dan properti, karena semakin banyak yang masuk ke pasar saham dan properti, hal ini mengakibatkan harga harga saham dan properti itu jadi naik jauh melebihi nilai wajarnya (Bubble), 


tapi perlu di ingat ketika harga aset itu naik dari harga wajarnya, cepat atau lambat terjadi koreksi besar besaran.


Dan benar saja ketika Bank Sentral itu menaikan kembali suku bunga di level 6% tahun 1990, masyarakat dan institusi itu malah kebingungan mengembalikan bunga Bank, karena bunga Bank tidak semurah sebelumnya, akhirnya di tahun 1991 masyarakat yang panik itu mulai menjual aset sahamnya karena keuntungan investasi itu tidak sanggup menutupi beban bunga hutang dari pinjaman mereka, hasilnya harga sahamnya jadi jatuh karena banyak yang menjual, sementara di sektor properti ketika Pemerintah mengambil kebijakan pengetatan pajak dan aturan pinjaman Bank, masyarakat berlomba lomba keluar dari pasar properti dan menjual semua aset aset properti mereka semurah murahnya, dan akhirnya harga properti hancur lebur dalam waktu singkat, dan kejatuhan itu juga mempengaruhi sektor Perbankan karena pinjaman yg di salurkan oleh Bank banyak dijamin oleh aset aset properti yang harganya jatuh, belum lagi tingkat gagal bayar pinjaman meningkat drastis, gara gara ini angka kredit macet membludak, total kredit macet mencapai total 10% dari GDP Jepang saat itu, tentunya efek domino/berantai ini membuat banyak perusahaan Jepang bangkrut dan meningkatkan angka pengangguran di Jepang, tercatat hanya dalam waktu 2 tahun belasan ribu perusahaan Jepang bangkrut.


Peristiwa ini menyebabkan shock dan trauma yang berat banget buat perekonomian jepang, dan tidak ada yg menyangka kalau mereka mengalami krisis seperti itu, sejak saat itu masyarakat dan pengusaha Jepang jadi trauma dan hati hati dalam menggunakan uangnya, perusahaan yang selamat juga akhirnya mengurangi aktivitas investasi dan jadi lebih fokus buat bayar hutangnya, masyarakat juga jadi takut berinvestasi, kapok pinjam uang buat modal usaha, dan lebih memilih hanya buat menabung di Bank, 

Riset yang dilakukan oleh Bank of Japan bahwa keamanan adalah kriteria terbesar masyarakat Jepang dalam berinvestasi di tahun 90an.


Tapi trauma ekonomi ini justru menjerumuskan mereka ke lingkaran Resesi, bayangkan saja kalau masyarakatnya makin hemat, pedagang yang makin merugi, dan pengusaha jadi takut buat berinvestasi dan berekspansi. 


Charles Yuji Harioka
(National Bureau Economic Research)

Penelitian dari Charles Yuji Harioka dari (National Bureau Economic Research) kalau sektor konsumsi dan investasi swasta mengalami penurunan di dekade 90an kalau di bandingkan dengan dekade 80an, dan pertumbuhan gdp rata rata juga turun dari 3.89% jadi 1.14% saja.



Akhirnya ekonomi Jepang terjebak dalam stagnasi yang berkelanjutan dan susah untuk di pulihkan kembali, sampai sekarang sisa sisa dari dekade kelam itu masih menghantui Jepang, pertumbuhan ekonomi mereka masih stagnan dengan suku bunga yang terlampau rendah bahkan sempat juga menyentuh angka negatif.


Tapi akibat trauma itu masyarakat jepang tetap takut memulai usaha, takut konsumsi berlebihan, selalu berhemat dan menabung, akhirnya harga barang cenderung stagnan dan bahkan turun, tapi penurunan harga ini tidak membuat masyarakat semakin gemar berbelanja tapi malah menunda berbelanja soalnya mereka berpikir kalau besok atau lusa harganya akan semakin turun dan lebih murah lagi, dalam ekonomi situasi ini disebut Liquidity Trap, kebijakan moneter buat menurunkan suku bunga udah gak bisa lagi nih buat menstimulasi konsumsi, yang ada justru malah sebaliknya, semua jadi serba salah, dan krisis ini juga mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat jepang, 

meningkatnya pengangguran di akhir tahun 90an akhirnya membuat karyawan di Jepang harus kerja lembur sampai larut malam buat memenuhi tuntutan kerja, bahkan di Jepang ada istilahnya namanya Karoshi (kematian karena kelelahan bekerja), 

inovasi dalam industri Jepang juga semakin susah karena budaya senioritas yang bikin kaum muda sulit berinovasi, berbeda dengan negara lain yang justru memberi ruang inovasi kepada kaum muda, tidak heran kalau industri Jepang semakin tertinggal kalau di bandingkan dengan China, Korea Selatan, bahkan Taiwan, tekanan hidup juga memicu fenomena Hikokomori ( dimana para pemuda mengucilkan diri mereka dari masyarakat ) karena tekanan lingkungan yang luar biasa, semua itu juga memicu tingginya tingkat bunuh diri di jepang, di tahun 90 ada 10,000 kasus bunuh diri dan terus meningkat di tahun tahun setelahnya.


di tahun 2010 secara peringkat Jepang di salip oleh China sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, bahkan di prediksi tahun 2026 Korea Selatan akan menyalip posisi Jepang, kalau kondisi ini di biarkan terus berlanjut, bahkan bukan tidak mungkin Indonesia juga akan bisa menyalip posisi Jepang, dan jepang kehilangan status negara majunya. sampai sekarang tidak ada yang tahu kapan resesi ekonomi di Jepang akan berakhir, 


kesimpulan yang bisa kita petik dari krisis jepang.
  1. Sebaik apapun kita mengatur manajemen hutang, suku bunga adalah sesuatu diluar kontrol kita, jangan pernah berinvestasi dengan hutang, selalu pakai uang dingin, jangan mudah tergiur suku bunga yang rendah yang sifatnya sementara (temporer)
  2. Harga aset yang jauh melebihi harga wajarnya, akan ada saatnya bubble, belilah aset di rentang harga wajarnya
  3. Hemat terlalu berlebihan juga tidak baik, tapi perlu ada alokasi untuk konsumsi dan charity (amal)
  4. Work - Life Balance, jangan mati konyol di tempat kerja karena burnout (kerja berlebihan)

Nama saya Andy Febryanto, pecinta ilmu ekonomi, bisnis dan finansial

0 Response to "Ekonomi Jepang dan Penyebab mandek selama 30 tahun"

Posting Komentar